[Cerpen] Tak Terucap by Riski Mihotri

Seorang bapak tua menunjuk-nunjuk wajahku dengan tangan tuanya. Tangan kiri pula. Sembari menunjuk merepetlah omelan-omelan pedas dari mulutnya-yang juga tua. "Kan sudah ku bilang ,pulang kerja itu tidur. Paginya kan kau juga harus kuliah. Kau kira si Megi Z menciptakan lagu begadang hanya untuk main-main haaa!! " "Maaf Pak Cik bukannya Rhoma Irama ya? " Pak Cik tersinggung, Ia paling tidak suka kalau bicaranya dicela, apalagi kalau Ia sedang muntab. Maka ditariknya satu nafas panjang, aku tau dalam persekian detik kedepan Ia akan mendampratku habis-habisan. Tapi dewi fortuna sedikit memihakku. Sebelum itu terjadi datanglah seorang pembeli. Tapi itu hanya keberuntungan sesaat. Setelah pembeli tadi pergi,maka film yang tadinya bertuliskan bersambung.mulai lagi. 
 
     Seperti itulah seklumit hari-hariku sebagai mahasiswa yang bekerja sambil kuliah. Lantaran hasutan setan dan koleganya, pernah beberapa kali aku coba untuk membenci juraganku itu-Pak cik. Kubenamkan dalam-dalam makiannya dalam fikiranku. Kasar, judes, tak berperasaan. Maka berhasillah sedikit. Lalu kucoba membenamkannya dalam hatiku. Ternyata hatiku menolak karena mungkin hanya satu alasan tadi aku bisa membencinya,tapi lebih dari seribu alasan tuk bisa menghormati dan -walaupun aku benci mengakuinya, tapi tak apalah -menyayanginya.

   Pak Cik adalah segelintir orang baik yang sudah sangat sulit dicari dizaman modern ini, walaupun galaknya naudzubillah. Jika baru kenal dengannya,  tak jarang orang yang suka berwaksyangka akan mengira ia adalah seorang tempramen lantaran kematian bini atau seorang paranoid yang disebabkan sudah tak tahan hidup membujang di usianya yang sudah kepala empat itu. Jika bicara seperti orang marah, jika marah seperti orang muntab jika muntab mungkin seperti orang kesurupan.

     Pak Cik dulu mempunyai seorang anak laki laki yang sepantaran dengan ku.Tapi itu dulu.Ia meninggal lantaran penanganan yang terlambat dari pihak rumah sakit yang disebabkan oleh sebuah alasan klasik,yang tak lain tak bukan ialah biaya.tragedi itulah yang melecut Pak cik untuk bangkit dari bayang bayang kelam kemiskinan.

     Kurasa umurku yang sepantaran dengan anaknya itulah yang membuat ia sangat mengistimewakan ku.Walaupun aku hanya bekerja dari jam enam sore sampai pukul sepuluh malam,  tapi mengingat aku yang dalam masa pendidikan Pak Cik tak segan-segan menyuruh ku pulang kalau aku bilang ada tugas yang cukup banyak. Belum lagi kalau aku sakit beliau tak cuma memberi ku cuti tapi juga datang ke kontrakanku untuk membawa ku pergi berobat. Ditambah lagi kebaikan-kebaikannya yang lain. Kadang kala aku seperti mempunyai ayah kedua di tanah rantau yang tak bertuan ini. 

***

     Sepastinya korupsi dinegri ini begitu jugalah pastinya waktu berganti. Sebentar-sebentar sudah jum'at lagi.tanpa terasa sudah genap aku  empat tahun di tanah lancang kuning ini. Dan salah satu hari teristimewa yang telah lama aku tunggu akhirnya datang juga- Wisuda. Ayah, Ibu, adikku dan keluarga lainnya hadir dalam hari yang bersejarah itu. Tampak juga Pak cik dan bibi beserta anak bungsunya yang baru berumur lima tahun-Izam. 

    Esoknya setelah berkemas dan mengurus segala susuatu yang masih tertinggal. Aku mampir sekejap di toko Pak cik. Berat hatiku rasanya untuk menemui beliau. Kulihat ia melihatku dengan tatapan yang sukar untuk kujelaskan dari dalam tokonya. Tak ada kata perpisahan yang terucap di sore itu. semuanya seakan telah tersampaikan oleh sebuah senyum getir dan suatu pelaukan hangat. Ya sehangat matahari sore itu.

Terimakasih,
Nama:Riski Mihotri
NIM:1609114950
No Hp:082311236112

Related Post



Posting Komentar